Bupati Kabupaten Jombang I : R.A.A. Soeroadiningrat
July 12, 2012 1 Comment
Profil R.A.A. Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930)
Kanjeng Sepuh atau Kanjeng Jimat adalah panggilan kesayangan warga Jombang untuk Bupati Jombang pertama yakni Raden Adipati Arya Soeroadiningrat atau R.A.A. Soeroadiningrat. Beliau menjabat sebagai Bupati Jombang sejak 1910 hingga 1930. Sebelum masa kepemimpinan beliau, Jombang merupakan daerah afdeeling Karesidenan Surabaya dengan pusat pemerintahan Jombang. Secara geografis Jombang terletak pada titik ketinggian 40 meter di atas permukaan air laut. Namun sebelum masuk di bawah afdeeling Surabaya terlebih dahulu Jombang menjadi bagian afdeeling Mojokerto wilayah paling barat. Kemudian pada tahun 1881 Jombang dipisahkan menjadi afdeeling tersendiri. Sekitar tahun 1910 afdeeling resmi dipisahkan dan menjadi sebuah kabupaten baru dengan cakupan luas sekitar 920 km persegi. Sebagai daerah afdeeling baru Jombang dibagi menjadi dua kontrol afdeeling, yaitu kontrol afdeeling Jombang, meliputi distrik Jombang dan Ploso. Kontrol afdeeling kedua terletak di Mojoagung yang membawahi distrik Mojoagung dan Ngoro.
R.A.A Soeroadiningrat merupakan keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit. Menurut silsilah, R.A.A. Soeroadiningrat, dalam silsilah disebutkan R.A.A. Soeroadiningrat V (Bupati Jombang I) adalah putera dari R.A.A. Soeroadiningrat IV (Regent Sedayu, 1855-1884). R.A.A. Soero adiningrat IV merupakan keturunan langsung Raden Museng atau R.A. A. Soeroadiningrat III (Regent Sedayu, 1816-1855). Raden Museng adalah keturunan dari Raden Anom dan Raden Ayu Suradilaga (Patih Panembahan Madura). Raden Anom merupakan putera Tjakraningrat IV (1718-1745 ). Tjakraningrat IV keturunan dari Raden Undakan atau Tjakraningrat II (Panembahan Madura,1648-1707 dan Bupati-Wedana Bangwetan,1705-1707). Raden Undakan putera dari Raden Prasena atau Tjakraningrat I (Adipati Madura, 1624 -1648). Raden Prasena putera Raden Kara (Pangeran Tengah Arosbaya, Bangkalan, 1592-1621). Raden Kara putra Raden Pratanu (Pangeran Lemah luhur/Lemahdu wur, Arosbaya, Bangkalan, 1531-1592). Raden Pratanu putra Ki Pragalba (Pangeran Palakaran, Bangkalan). Ki Pragalba putra Ki Demung (Demang Palakaran, Kota-Anyar, Arosbaya, Bangkalan). Ki Demung putra Nyi Ageng Buda. Nyi Ageng Bud a putri Aria Pratikel/Pabekel (Madekan, Sampang). Aria Pratikel putra Aria Menger (Madekan, Sampang). Aria Menger putra Raden Lembu Peteng (Madekan, Sampang, Madura). Raden Lembu Peteng putra Prabu Brawijaya V (Kertawijaya/Bra Tumapel, 1447-1478) dengan Kanjeng Ratu Handarawati (Putri Cempa). Masa kecil Raden Adipati Arya Soeroadiningrat bernama Bagus Badrun. Beliau merupakan putera dari salah satu selir R .A.A. Soeroadiningrat IV. Sebagai putera seorang Regent atau Adipati, maka Bagus Badrun harus menjalani proses pendadaran sebagai kader pemimpin bangsanya. Sebagai bekal terjun ke masyarakat, Bagus Badrun kecil menimba ilmu agama di Pesantren Giri. Tidak cukup hanya ilmu agama, Bagus Badrun juga mendalami ilmu kanuragan atau beladiri di Perguruan Gilingwesi. Proses membangun watak dasar pemimpin masa itu benar-benar dilakukan secara paripurna. Karena selain melalu i jalur agama, juga menggunakan jalur budaya dan tradisi setempat. Sehingga pemimpin yang dihasilkan betul-betul mumpuni untuk menjadi Pamong Praja, artinya panutan dan pembimbing rakyat, tidak sebaliknya menjadi Pangreh Praja atau penguasa rakyatnya.
Bagus Badrun d iangkat oleh Pemerintah Belanda menggantikan ayahandanya R.A.A. Soeroadiningrat IV sebagai Regent atau Adip ati di d aerah Sedayu, Gresik pada kurun waktu 1884-1910, bergelar R.A.A. Soeroadiningrat V, sebelum menjabat kedudukan yan g sama di wilayah Jombang pada periode berikutnya. Pengangkatannya sebagai Adipati Sedayu menimbulkan kecemburuan di kalan gan saudaranya. Salah satu di antara yang kuran g setuju Bagus Badrun menggantikan ayahandanya adalah saudara lain Ibu bernama Raden Jamilun. Kelak Raden Jamilun memposisikan diri sebagai oposan R.A.A. Soeroadiningrat V hingga menjadi Regent atau Adipati di Jombang.
Berbeda dengan R.A.A. Soeroadiningrat yang berprinsip mengikuti arus air tapi jangan sampai terbawa arus, artinya mengikuti kemauan Belanda, tetapi tetap berjuang dan bekerja untuk rakyat. Bagi Raden Jamilun sikap moderat ala saudaranya itu sangat bertentangan dengan hati nurani. Maka Raden Jamilun memilih berjuang membela rakyat dengan cara dan keyakin annya sendiri. Ia akhirnya menjadi penyamun seperti kisah Robin Hood di Inggris atau kisah Brandal Lokajaya, nama Raden Said atau Sunan Kalijaga ketika melakukan hal yang sama pada kurun waktu akhir Majapahit. Kejahatan maling Jamilun akhirnya terdengar juga oleh Pemerintah Belanda. Namun pihak Belanda tidak bisa berkutik, karena Raden Jamilun adalah saudara R.A.A. Soeroadiningrat yang pada waktu itu sangat disegani Belanda dan disayang rakyatnya. Sehingga sepak terjang Raden Jamilun dengan jalan mencuri harta kaum berduit dan hasilnya dibagi-bagikan untuk rakyat kecil, terus berlanjut tanpa ada yang menghentikan. Meskipun tidak sedikit maling-maling kroco atau kelas teri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di sebuah mah kamah pengadilan Beland a yang disebut landraad.
Surat pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V tidak begitu saja diterbitkan oleh pihak pemerintah Hindia Belanda. Artinya selain pandangan pihak Keratuan Belanda, juga ada pihak-pihak ain yang mendorong dipilihnya Kanjeng Sepuh sebagai Bupati Jombang pertama. Pejabat yang dimaksud adalah Bupati Mojokerto ketiga Raden Adipati Arya Kramadjajaadinegara. Karena masa sebelumnya Jombang masuk dalam bagian afdeeling Mojokerto, sehingga ikatan batin antara penguasa dua wilayah ini masih sangat kuat. R.A.A.Kramadjajaadinegara sendiri memiliki orang kepercayaan untuk memantau perkembangan Jombang bernama Imam Zah id, seorang penghulu di Sumobito. Bahkan Imam Zahid inilah yang mengambil beselit/Surat Keputusan pengangkatan R.A.A. Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ke Batavia. Konon dalam perjalanan membawa SK dari Batavia, Imam Zahid menyempatkan diri membeli bibit mangga gadung. Pohon mangga itu kemudian ditanam di depan masjid Sumobito. Sekarang pohon mangga gadung tersebut masih dapat kita saksikan di halaman masjid Sumobito, Kabupaten Jombang. Masa awal jabatan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten Jombang pada tanggal 22 Februari 1910 dan penanaman pohon beringin kunthing di halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Conthong. Penanaman pohon beringin ini menurut simbolisme Jawa adalah sebagai lambang pengayoman seorang pemimpin kepada kawula atau rakyat yan g dipimpinnya.
Sebagai pemimpin lulusan pondok pesantren dan perguruan seni beladiri, R.A.A. Soeroadiningrat V memiliki bekal keilmuan yang cukup. Tulisan tangan beliau dikenal sangat indah, terutama jika menggunakan huruf Arab Pego dan hu ruf Jawa. Namun sangat jelek jika memakai huruf latin. Hal ini diakui oleh Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu beliau. Sosok R.A.A. Soeroadiningrat V juga dikenal sebagai seorang tokoh pluralis dan moderat. Bukti kepluralisan beliau diwujudkan pada penghormatan terhadap keyakinan lain di luar Agama Islam yang beliau anut. Bahkan di ruang kerja beliau terdapat patung Budhis simbol Agama Buddha dan Batara Wisnu sebagai simbol Agama Hindu. Meskipun demikian R.A.A. Soeroad iningrat bukan penganut sinkretis agama.
Upaya untuk mendekati Belanda digunakan Bupati Jombang pertama sebagai media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyi beliau untuk semaksimal mun gkin memakmurkan rakyat. Dengan cara ini akhirnya rakyat tidak terbebani, baik pungutan pajak yang mencekik maupun kebijakan lain. Justru banyak kaum jelata menghormati beliau sebagai sosok pengayom dan mengerti kebutuhan rakyat. Karena beliau dikenal juga sebagai orang pintar yang bisa mengobati orang sakit dengan ramuan-ramuan tradisional. Atas jasa baik beliau sebagai pemimpin dan disukai rakyatnya, maka Pemerintah Belanda memberikan bintang kehormatan Ridder Der Oranye Nasaw atau bintang kehormatan sebagai tangan kanan Raja (orang kepercayaan Belanda). Mengenai kewa skitaan Kanjeng Sepuh atau R.A. A. Soeroadin in grat V ini, banyak saksi yang masih bisa menceritakan. Seperti misalnya; suatu hari diceritakan bahwa Kanjeng Sepuh telah membeber (menggelar) tikar di Pendopo Kabupaten untuk pengobatan gratis. Dikatakan demikian karena pasien yang berobat biasan ya tidak menyerahkan uang sebagai ongkos melainkan hasil bumi yang mereka miliki, seperti pisang, kelapa, dan beras satu takar. Tikar atau klasa dalam bahasa Jombang digunakan antrian pasien atau warga Jo mbang yang ingin berobat. Tiba-tiba ketika giliran salah satu pasien, Kanjeng Sepuh berpesan kepada anak si pasien agar memberikan ramuan daun Sembung kepada Mbok (Ibun ya) sampai hari Rebo Wage. Kemudian setelah tiba hari Rebo Wage menurut pesan Kanjeng Sepuh, pasien bersangkutan men in ggal dunia. Benar tidaknya kewaskitaan ini wallahua’lam bishawab .
Salah satu acara pesta rakyat yang digelar ru tin setiap tahun oleh Kanjeng Sepuh adalah pesta memperingati ulang tahun Ratu Belanda Yuliana. Biasanya dilakukan di Pendopo Kabupaten dengan diwarnai arak-arakan massal para petani yang memamerkan hasil bumi mereka. Mungkin semacam karnaval yang kita kenal sekarang untuk memperingati kemerdekaan. Hasil-hasil bumi yang diarak keliling dengan menggunakan kendaraan dokar sepanjang jalan-jalan di Kota Jombang tersebut adalah hasil bumi terbaik yang mereka miliki. Kemudian pada sesi akhir acara dilakukan penyerahan hadiah dari Pemerintah Belanda kepada pemenang yang menyajikan hasil bumi terbaik, terbanyak, dan terbesar. Hasil-hasil bumi itu berupa pala pendhem; seperti uwi, gembili, tales dan lain-lain, termasu k padi dan palawija. Puncak acara peringatan ulang tahun Ratu Yuliana d ilakukan dengan menggelar tarian dansa ala Eropa dan pertunjukan karawitan.
Di setiap kesempatan selalu digunakan Kanjeng Sepuh untuk memperluas jaringan lobby. Sering di sela-sela tugas beliau sebagai Bupati, beliau secara sengaja bergabung dengan orang-orang Belanda dan asing lainnya di sebuah komunitas selatan kantor pos sekaran g yan g dulu bernama community society. Atau kelompok high class zaman Belanda. Kegiatan community society ini antara lain olah raga bersama di rumah bola (bowling) dan bilyard. Posisi rumah bola adalah kantor telkom sekarang. Di situlah sering Kanjeng Sepuh mendapatkan perhatian lebih dari pejabat Pemerintah Belanda. Tidak mengherankan jika Dr. Van Der Plass selaku Residen Surabaya san gat menaruh hormat pada Kanjeng Sepuh. Rasa hormat ini bahkan cenderung mengarah pada persaudaraan antar b angsa. Karena Dr. Van Der Plass sering melakukan kunjungan ke kediaman Kanjeng Sepuh. Akhirn ya beberapa mesin uang Belanda di tanah Jawa berupa pabrik-pabrik gula ban yak didirikan di daerah Jombang. Tidak kurang dari tujuh pabrik gula pernah berdiri di Kabupaten Jombang, antara lain; pabrik gula Tjoekir, Ceweng, Djombang Baru, Peterongan, Ploso, Sumobito, dan Mojoagung.
Kanjeng Sepuh adalah figur Bupati yang sederhana. Kesan in i terekam pada keseharian beliau yang men yukai laku prihatin. Pada setiap malam Jumat Legi beliau selalu membakar dupa sebagai media kontemplasi. Dupa tersebut biasanya dibuat oleh Raden Ajeng Asiyah Airmuna sebagai putri keduanya. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dupa dengan aroma khas dan berkelas diperoleh dari warisan turun temurun, antara lain menggunakan kulit duku, kemenyan, dan ramuan-ramuan lainnya. Keteladanan hidup sederhana ini juga ditunjukkan dengan tidak bergaya hidup mewah, meskipun gaji Kanjeng Sepuh sebagai Adipati sebesar 1000 gulden setiap bulan memungkin kan untuk itu. Sebagai pembanding uang 15 gulden saja pada waktu itu bisa digunakan untuk membeli sebuah rumah mewah plus pekarangannya.
Masa pensiun Kanjeng Sepuh sebagai Bupati di Jombang, terjadi perang dunia II. Ketika itu Jepang mulai masuk ke wilayah Indonesia setelah berhasil mematahkan dominasi Barat dengan mengebom pan gkalan Angkatan Laut Amerika Pearl Harbor di Hawaii. Semula kehadiran bala ten tara Jepang disambut dengan sukacita, tetapi setelah bangsa In donesia tersadar bahwa tindakan Jepang lebih parah, bahkan lebih sad is dari Belanda, maka mulailah perlawanan di mana-mana. Tidak terkecuali di Jombang. Kedatangan Jepang ternyata menyulut penderitaan panjang rakyat Jombang. Salah satu bentuk kebiadaban gaya baru ala prajurit Jepang tersebut berupa penculikan gadis-gadis belia untu k digun akan sebagai budak seks tentara Jepang. Penculikan berakhir perkosaan massal itu yang kemudian terungkap seb agai jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang).
Untuk menghindari kebiadaban bala tentara Jepang, akhirnya Kanjeng Sepuh bersama beberapa cucu beliau yan g sudah beranjak remaja memutuskan untuk sementara mengun gsi ke suatu tempat/desa bernama Gempollegund i (sekarang Kecamatan Gudo ). Di desa itulah sekitar empat hari Kanjeng Sepuh ditolong Lurah d an warga setemp at agar tidak diketahui tentara Jepang. Pengungsian ini terjadi setelah melakukan serangkaian diskusi antara Kanjeng Sepuh dan putranya R.A. A. Setjo adiningrat serta penasehat spiritual beliau yang terkenal dengan sebutan Mbah Jimbrak, Lurah Gamb ang (Desa Plumbongambang, Kecamatan Gudo). Benar juga dugaan Kanjeng Sepuh, setelah empat hari mengungsi di Gempollegundi, Kanjeng Sepuh d an keluarga memutuskan kembali ke Ndalem Kasepuhan yang berada di Jalan Arjuna (sekarang Jalan dr. Sutomo, tepatnya lokasi rumah sakit Muhammad iyah). Setiba di sana kondisi Kasepuhan sud ah diacak-acak bala tentara Jepang. Kamar tidur Kanjeng Sepuh dan kelu arga kusut masai bekas digunakan serdadu Jepang. Beberapa potong roti sisa prajurit Jepang tertinggal di meja kamar tidur beliau. Beruntung para p rajurit Jepang itu sudah meninggalkan kediaman Kanjen g Sepuh. Sehingga kehidupan keluarga Bupati Jombang pertama itu bisa normal kembali.
Setelah jabatan Kanjeng Sepuh sebagai Bupati pertama Jombang diserahkan kepada putra beliau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat, maka mulailah masa pensiun beliau. Untuk mengisi waktu di sela aktifitas pensiun, Kanjeng Sepuh sering melukis di kamar pribadi beliau. Aktifitas melukis ini membuktikan b ahwa Kanjeng Sepuh memiliki bakat terpendam sebagai seniman lukis, meskipun menolak dikatakan sebagai seniman. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat (Kan jeng Sepuh) murud kasidan jati atau dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada 20 April 1946, tepatnya bulan Suro, hari Jumat Pahing.19 Banyak kalangan dan kolega beliau merasa sangat kehilangan, termasuk para tokoh ulama. Sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan di pemakaman kelu arga Pulo Sampurno , sebanyak empat ulama pemimpin empat pondok pesantren besar di Kabupaten Jombang melakukan sholat jenazah bagi almarhum. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat meninggalkan seorang istri bernama Raden Ayu Maimunah Soero adiningrat dan 3 orang putri-putra, yaitu Raden Ayu Badariyah, Raden Ayu Asiyah Airmuna, dan Raden Adipati Arya Sarwadji atau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII.
NB: Diambil dari Biografi Para Bupati Jombang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jombang tahun 2010
Pingback: Rekapitulasi Nama – Nama Bupati Kabupaten Jombang « S 6311 WW